Selamat Datang

Terima kasih Anda telah berkenan berkunjung. Maaf bila selama ini saya kurang sempat memperbarui tayangan pada blog ini karena harus memfokuskan perhatian pada penulisan hasil penelitian. Saya berusaha kembali melengkapi tayangan pada blog ini seiring dengan kemajuan yang saya capai. Sebagian dari tulisan yang saya tayangkan selanjutnya akan berdasarkan pada hasil penelitian tersebut. Karena itu, saya mohon maaf bila Anda belum menemukan banyak hal karena blog ini, untuk sementara, sedang dalam pengalihan dan perbaikan dari blog sebelumnya, blog dengan nama yang sama tetapi dengan isi dan tampilan berbeda. Tayangan pada blog sebelumnya masih dapat Anda peroleh dengan mengklik menu BLOG LAMA.

Jumat, 24 Agustus 2012

Ketahanan hayati dan PHT: Berbeda atau Bagaimana?

Sejak konferensi tingkat tinggi di Sanur, Bali, berkali-kali telah diselenggarakan lokakarya dan seminar mengenai ketahanan hayati. Selain di Sanur, lokakarya dan seminar juga diselenggarakan di Denpasar, Kupang, Manado, dan Ambon. Pada setiap kali lokakarya dan seminar, selalu saja timbul berbagai pertanyaan mengenai istilah ketahanan hayati. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang menarik adalah pertanyaan apakah ketahanan hayati itu sama atau berbeda dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Untuk diketahui, PHT telah ditetapkan sebagai sistem perlindungan tanaman di  Indonesia. PHT sebenarnya merupakan instrumen pengambilan keputusan tindakan pengendalian organisme pengganggu. Sejak penerapannya pada 1980-an, PHT di Indonesia telah berkembang dari PHT Ambang Ekonomi (PHT-AE), PHT Sekolah Lapang (PHT-SL), dan PHT Masyarakat (PHT-M).


Pada tahap PHT Ambang Ekonomi, pengambilan keputusan pengendalian dilakukan pada saat padat populasi organisme pengganggu mencapai apa yang disebut ambang ekonomi. Dalam hal ini ambang ekonomi merupakan padat populasi organisme pengganggu yang merugikan yang penetapannya dilakukan melalui penelitian oleh para pakar. Pada tahap PHT Sekolah Lapang, pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok tani yang mempelajari interaksi antar organisme, musuh alaminya, dan tanaman dengan cara melakukan pemantauan ekosistem melalui sekolah lapang dengan para pakar sebagai instruktur. Pada tahap PHT Masyarakat, pengambilan keputusan tidak hanya melibatkan petani tetapi juga anggota masyarakat lainnya, termasuk konsumen, dengan fasilitator yang berasal dari masyarakat sendiri. Karena dasar pengambilan keputusannya adalah hasil pemantauan ekosistem maka tentu saja pengambilan keputusan dalam PHT terbatas setelah organisme penggaggu berada di dalam batas-batas agro-ekosistem.

Merujuk pada uraian di atas maka ketahanan hayati berbeda dengan PHT dalam hal kontinuum penanganan masalah. Dengan pendekatan ketahanan hayati, penanganan masalah dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah organisme pengganggu melintasi batas. Hal ini berbeda dengan pendekatan PHT yang memfokuskan perhatian pada penanganan masalah setelah organisme pengganggu melintasi batas dan berada dalam batas-batas agro-ekosistem. Dengan kata lain, ketahanan hayati menanganai masalah secara proaktif, sedangkan PHT menangani masalah secara reaktif. Bagi Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS, CVPD bukan merupakan masalah sepanjang masih merupakan masalah di Eban, Kabupaten TTU. Sebaliknya bagi Australia, CVPD sudah menjadi masalah meskipun baru terdapat di negara tetangga Indonesia.

Bukan hanya berbeda dalam soal kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, ketahanan hayati berbeda dengan PHT dalam hal memadukan aspek teknis dan aspek sosial permasalahan yang dihadapi. Pada tahap menilai, mengelola, maupun mengendalikan risiko ketahanan hayati, selalu diperhatikan keterkaitan permasalahan yang dihadapi dengan berbagai faktor sosial masyarakat. PHT juga memberikan perhatian pada berbagai faktor sosial, tetapi faktor sosial ditempatkan sebagai eksternalitas daripada diinternalisasi. Dalam perkembangan PHT, memang telah dilakukan upaya untuk semakin menginternasisasikan permasalahan sosial ini. Tetapi karena PHT Komunitas berkembang setelah era otonomi daerah maka penginternalisasian yang diharapkan tersebut tidak berlangsung dengan tuntas. Hal ini terjadi karena dalam era otonomi daerah, kewenangan perlindungan tanaman termasuk dalam kewenangan yang didesentralisasi. Dalam hal ini, tidak semua daerah benar-benar telah memahami dan dapat menerapkan PHT Komunitas sebagaimana mestinya.

Sebagaimana telah disampaikan pada tayangan sebelumnya, ketahanan hayati mengintegrasikan berbagai sektor dalam menghadapi permasalahan organisme pengganggu. Dalam kaitan ini PHT, meskipun sudah menggunakan pendekatan terpadu, keterpaduannya terbatas pada sektor pertanian. Maka tidak mengherankan bila kemudian, ketika DDT telah dilarang untuk digunakan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan, Departemen (sekarang Kementerian) Kesehatan masih menggunakannya untuk mengendalikan nyamuk. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri, masih banyak kalangan memandang PHT sebagai hanya urusan bidang perlindungan tanaman dan lebih khusus lagi, urusan yang berkaitan dengan hama dalam arti sempit (binatang hama). Akibatnya, tidak mengherankan bila masih ada dosen dan mahasiswa sosial-ekonomi pertanian masih menyebut pestisida sebagai obat hama padahal sesungguhnya adalah racun. Di kalangan masyarakat umum, obat nyamuk merupakan istilah yang dipahami lebih luas daripada racun nyamuk.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sektor pertanian ketahanan hayati dan PHT sama-sama berkaitan dengan organisme pengganggu. Hanya saja, organisme pengganggu yang dihadapi didefinisikan dengan cara yang berbeda. Dalam ketahanan hayati, organisme pengganggu didefinisikan sebagai musuh yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan dan kesehatan tumbuhan, hewan, manusia, dan lingkungan hidup. Dalam PHT di Indonesia, organisme pengganggu didefinisikan sebagai mahluk hidup yang merusak, mengganggu kehidupan, dan mematikan tumbuhan, khususnya tanaman. Meskipun demikian, tujuan akhir ketahanan hayati dan PHT tetap sama, yaitu sama-sama untuk mendukung ketahanan pangan dan ketahanan nasional.