Sejak konferensi tingkat tinggi di Sanur, Bali, berkali-kali telah
diselenggarakan lokakarya dan seminar mengenai ketahanan hayati. Selain
di Sanur, lokakarya dan seminar juga diselenggarakan di Denpasar, Kupang,
Manado, dan Ambon. Pada setiap kali lokakarya dan seminar, selalu saja
timbul berbagai pertanyaan mengenai istilah ketahanan hayati. Di antara
pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang menarik adalah pertanyaan apakah
ketahanan hayati itu sama atau berbeda dengan pengendalian hama terpadu
(PHT). Untuk diketahui, PHT telah ditetapkan sebagai sistem
perlindungan tanaman di Indonesia. PHT sebenarnya merupakan instrumen
pengambilan keputusan tindakan pengendalian organisme pengganggu. Sejak
penerapannya pada 1980-an, PHT di Indonesia telah berkembang dari PHT
Ambang Ekonomi (PHT-AE), PHT Sekolah Lapang (PHT-SL), dan PHT Masyarakat (PHT-M).
Pada tahap PHT Ambang Ekonomi, pengambilan keputusan pengendalian
dilakukan pada saat padat populasi organisme pengganggu mencapai apa
yang disebut ambang ekonomi. Dalam hal ini ambang ekonomi merupakan
padat populasi organisme pengganggu yang merugikan yang penetapannya dilakukan melalui penelitian oleh para pakar. Pada tahap PHT Sekolah Lapang,
pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok tani
yang mempelajari interaksi antar organisme, musuh alaminya, dan
tanaman dengan cara melakukan pemantauan ekosistem melalui sekolah lapang dengan para
pakar sebagai instruktur. Pada tahap PHT Masyarakat, pengambilan
keputusan tidak hanya melibatkan petani tetapi juga anggota masyarakat
lainnya, termasuk konsumen, dengan fasilitator yang berasal dari
masyarakat sendiri. Karena dasar pengambilan keputusannya adalah hasil pemantauan ekosistem maka tentu saja pengambilan keputusan dalam PHT terbatas setelah organisme penggaggu berada di dalam batas-batas agro-ekosistem.
Merujuk pada uraian di atas maka ketahanan hayati berbeda dengan PHT
dalam hal kontinuum penanganan masalah. Dengan pendekatan ketahanan
hayati, penanganan masalah dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah
organisme pengganggu melintasi batas. Hal ini berbeda dengan pendekatan
PHT yang memfokuskan perhatian pada penanganan masalah setelah
organisme pengganggu melintasi batas dan berada dalam batas-batas agro-ekosistem. Dengan kata lain, ketahanan
hayati menanganai masalah secara proaktif, sedangkan PHT menangani
masalah secara reaktif. Bagi Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Kabupaten TTS, CVPD bukan merupakan masalah sepanjang masih
merupakan masalah di Eban, Kabupaten TTU. Sebaliknya bagi Australia,
CVPD sudah menjadi masalah meskipun baru terdapat di negara tetangga Indonesia.
Bukan hanya berbeda dalam soal kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, ketahanan
hayati berbeda dengan PHT dalam hal memadukan aspek teknis dan aspek sosial
permasalahan yang dihadapi. Pada tahap menilai, mengelola, maupun
mengendalikan risiko ketahanan hayati, selalu diperhatikan keterkaitan permasalahan yang dihadapi dengan berbagai faktor sosial masyarakat. PHT juga
memberikan perhatian pada berbagai faktor sosial, tetapi faktor sosial
ditempatkan sebagai eksternalitas daripada diinternalisasi. Dalam
perkembangan PHT, memang telah dilakukan upaya untuk semakin
menginternasisasikan permasalahan sosial ini. Tetapi karena PHT
Komunitas berkembang setelah era otonomi daerah maka penginternalisasian
yang diharapkan tersebut tidak berlangsung dengan tuntas. Hal ini
terjadi karena dalam era otonomi daerah, kewenangan perlindungan tanaman
termasuk dalam kewenangan yang didesentralisasi. Dalam hal ini, tidak
semua daerah benar-benar telah memahami dan dapat menerapkan PHT
Komunitas sebagaimana mestinya.
Sebagaimana telah disampaikan pada tayangan sebelumnya, ketahanan
hayati mengintegrasikan berbagai sektor dalam menghadapi permasalahan
organisme pengganggu. Dalam kaitan ini PHT, meskipun sudah menggunakan
pendekatan terpadu, keterpaduannya terbatas pada sektor pertanian. Maka
tidak mengherankan bila kemudian, ketika DDT telah dilarang untuk
digunakan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan, Departemen
(sekarang Kementerian) Kesehatan masih menggunakannya untuk
mengendalikan nyamuk. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri, masih banyak kalangan memandang PHT sebagai hanya urusan bidang perlindungan tanaman dan
lebih khusus lagi, urusan yang berkaitan dengan hama dalam arti sempit
(binatang hama). Akibatnya, tidak mengherankan bila masih ada dosen dan mahasiswa sosial-ekonomi pertanian masih menyebut pestisida
sebagai obat hama padahal sesungguhnya adalah racun. Di kalangan masyarakat umum, obat nyamuk
merupakan istilah yang dipahami lebih luas daripada racun nyamuk.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sektor pertanian
ketahanan hayati dan PHT sama-sama berkaitan dengan organisme
pengganggu. Hanya saja, organisme pengganggu yang
dihadapi didefinisikan dengan cara yang berbeda. Dalam ketahanan hayati, organisme pengganggu didefinisikan sebagai musuh yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan dan kesehatan tumbuhan, hewan, manusia, dan lingkungan hidup. Dalam PHT di Indonesia, organisme pengganggu didefinisikan sebagai mahluk hidup yang merusak, mengganggu kehidupan, dan mematikan tumbuhan, khususnya tanaman. Meskipun demikian,
tujuan akhir ketahanan hayati dan PHT tetap sama, yaitu sama-sama untuk mendukung ketahanan pangan dan ketahanan nasional.
Selamat Datang
Terima kasih Anda telah berkenan berkunjung. Maaf bila selama ini saya kurang sempat memperbarui tayangan pada blog ini karena harus memfokuskan perhatian pada penulisan hasil penelitian. Saya berusaha kembali melengkapi tayangan pada blog ini seiring dengan kemajuan yang saya capai. Sebagian dari tulisan yang saya tayangkan selanjutnya akan berdasarkan pada hasil penelitian tersebut. Karena itu, saya mohon maaf bila Anda belum menemukan banyak hal karena blog ini, untuk sementara, sedang dalam pengalihan dan perbaikan dari blog sebelumnya, blog dengan nama yang sama tetapi dengan isi dan tampilan berbeda. Tayangan pada blog sebelumnya masih dapat Anda peroleh dengan mengklik menu BLOG LAMA.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)