Selamat Datang

Terima kasih Anda telah berkenan berkunjung. Maaf bila selama ini saya kurang sempat memperbarui tayangan pada blog ini karena harus memfokuskan perhatian pada penulisan hasil penelitian. Saya berusaha kembali melengkapi tayangan pada blog ini seiring dengan kemajuan yang saya capai. Sebagian dari tulisan yang saya tayangkan selanjutnya akan berdasarkan pada hasil penelitian tersebut. Karena itu, saya mohon maaf bila Anda belum menemukan banyak hal karena blog ini, untuk sementara, sedang dalam pengalihan dan perbaikan dari blog sebelumnya, blog dengan nama yang sama tetapi dengan isi dan tampilan berbeda. Tayangan pada blog sebelumnya masih dapat Anda peroleh dengan mengklik menu BLOG LAMA.

Jumat, 24 Agustus 2012

Mengapa ketahanan hayati itu penting?

Tumbuhan dan hewan merupakan pemasok kebutuhan pangan, pakaian, dan perumahan bagi manusia. Tetapi manusia bukan satu-satunya mahluk hidup dalam ekosistem. Di sekitar kita terdapat berbagai jenis mahluk hidup yang juga memerlukan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal. Karena itu, ketika kita membudidayakan tumbuhan tertentu sebagai tanaman, berbagai mahluk hidup lain berusaha ikut menikmati hasilnya. Sampai taraf tertentu kita mungkin bisa merelakan sebagian hasil jerih payah kita juga dimanfaatkan oleh mahluk hidup lain. Tetapi semua ada batasnya, termasuk batas sampai sejauh mana kita dapat merelakan hasil tanaman dan ternak kita dimanfaatkan oleh mahluk hidup lain.

Bila batas tersebut terlampaui maka kita akan menganggap mahluk hidup lain yang ikut memanfaatkan hasil tanaman dan ternak kita tersebut sebagai pengganggu. Kita kemudian menyebut mereka sebagai organisme pengganggu atau hama. Organisme pengganggu tertentu bukan hanya memakan tanaman dan ternak serta hasilnya, tetapi juga menyebabkan penyakit sehingga kerusakan yang terjadi menjadi semakin meluas. Organisme yang mengganggu tanaman dan ternak bukan hanya dari golongan binatang, tetapi juga dari golongan tumbuhan yang menyaingi tanaman di kebun dan rumput di padang penggembalaan. Kita perlu melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hasil tanaman dan ternak kita.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh organisme pengganggu ini memang kurang berarti bila dihitung dalam satuan individu tanaman atau ternak. Tapi dalam satuan hektar maka kerusakan akan menjadi sangat besar sehingga menjadi merugikan. Dari penelitian mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kumbang bubuk pada jagung yang disimpan secara tradisional, saya menemukan kerusakan sampai mencapai 15-30% dari berat biji jagung yang disimpan dalam waktu tiga bulan. Sebelumnya, dalam penelitian mengenai gulma Chromolaena odorata, saya menemukan kehilangan hasil yang bisa mencapai 20-40%. Penelitian saya lainnya mengenai kerusakan yang disebabkan oleh penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella menunjukkan bahwa hama tersebut dapat menimbulkan kerusakan sampai >70% hasil biji kakao. Ini baru kerusakan, belum termasuk penurunan kualitas yang menyebabkan harga menjadi turun. Kerusakan ini memang bisa diturunkan dengan melakukan pengendalian, tetapi pengendalian memerlukan biaya sehingga kalau tidak diperhitungkan secara matang justeru bisa menimbulkan kerugian lebih besar lagi.

Perhatikan juga apa yang terjadi dengan kawasan hutan di sekitar kita. Selain sebagian kawasan hutan sudah mengalami kerusakan karena pembalakan, hutan yang tersisa juga tidak lagi sama dengan sebelumnya. Dalam banyak hal, perubahan kedaan hutan tersebut terjadi karena proses suksesi tidak lagi mampu mengembalikannya sebagaimana keadaan semula. Namun dalam banyak kasus, perubahan terjadi justeru karena kita berusaha memperbaiki keadaan hutan tanpa memahami apa itu hutan sebenarnya. Kita melihat hutan tidak lebih dari sekedar sekumpulan pohon yang tumbuh di suatu kawasan. Maka, untuk memperbaiki hutan kita melakukan penghijauan dan reboisasi dengan jenis-jenis pohon tertentu. Seringkali jenis-jenis yang kita tanam bukan jenis-jenis asli setempat, melainkan jenis-jenis dari luar. Akibatnya, hutan di Pulau Timor menjadi tidak lagi ada bedanya dengan hutan di tempat lainnya di Indonesia karena didominasi oleh pohon johar, jati, mahoni, dan sonokeling yang notabene bukan merupakan jenis pohon asli. Padahal hutan bukan sekedar kumpulan jenis-jenis pohon. Hutan juga terdiri atas berbagai jenis satwa yang memerlukan makanan. Bagaimana kemudian kuskus memperoleh makanannya jika kita menanam johar, jati, mahoni, dan sonokeling? Tanpa sengaja, dengan menanam jenis-jenis pohon asing tersebut kita justeru merusak hutan asli kita sendiri. Ini bisa terjadi karena kita tidak memahami hutan sebagai kesatuan ekosistem dengan identitas lokal.

Lalu bagaimana bila jenis-jenis tumbuhan dan satwa asli kita kemudian diakui sebagai milik negara tetangga? Hal ini memang belum terjadi, atau kita belum mengetahui bahwa hal ini telah terjadi. Tetapi bukan tidak mungkin ini akan terjadi mengingat kita mempunyai negara tetangga yang suka mengakui milik negara lain sebagai miliknya sendiri. Setidak-tidaknya, mereka bisa mengambil benihnya atas nama demi penelitian untuk kemudian menyilangkannya atau melakukan rekayasa genetik terhadapnya sehingga menghasilkan varietas baru yang kemudian dijadikan sebagai miliknya. Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahu bahwa mangga, jeruk besar, rambutan, dan durian adalah tumbuhan asli Indonesia. Tetapi kemudian kita justeru harus membeli varietas tumbuhan tersebut dari luar negeri. Kita mengimpor mangga Australia, jeruk besar dan durian Bangkok, dan rambutan Malaysia. Malah kita justeru lebih bangga mengkonsumsi buah-buahan impor yang nenek moyangnya sebenarnya dari Indonesia daripada mengkonsumsi buah-buahan sejenis yang memang dihasilkan di Indonesia.

Semua ini bisa terjadi karena kita kurang memahami arti penting ketahanan hayati. Kita berbicara mengenai ketahanan pangan hanya dari aspek ketersediaan, tanpa memperhatikan dari mana pangan itu diadakan. Dalam era pasar bebas hal ini memang tampak wajar, tetapi bagaimana bila terjadi konflik regional? Bagaimana bila negara-negara pemasok beras kita selama ini, karena alasan kepentingan ketahanan nasionalnya, tidak lagi bersedia menjual berasnya kepada kita? Bagaimana bila jagung yang kita impor dari negara lain ternyata mengandung racun aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur selama penyimpanan, apakah kita akan menerima begitu saja? Bahkan skenario terjelek, bagaimana bila ada pihak tertentu yang untuk mengacaukan negara kita melakukannya bukan lagi dengan menebar bom melainkan dengan menebar hama, penyakit, dan gulma yang akan menghancurkan tanaman kita? Bagaimana pula halnya dengan penyakit ternak dan manusia? Bagaimana kalau kemudian ternyata ada negara lain yang mengembangkan vaksin dari penelitian terhadap penyakit yang dilakukan di Indonesia dan kemudian kita diharuskan membeli vaksin yang dihasilkan?

Biasanya kita hanya bisa ribut setelah itu semua terjadi. Dan ini semua terjadi karena kita tidak memahami ketahanan hayati. Dalam era globalisasi sekarang, lalu lintas manusia dan barang yang dapat terjadi antar benua melintasi batas-batas alam yang semula menjadi penghalang, semua itu bisa dengan mudah terjadi. Untuk menangkal dampak negatif yang timbul dari ini semua, kita perlu memahami ketahanan hayati. Sebagai negara mega-biodiversity seharusnya kita meletakkan ketahanan hayati sebagai sesuatu yang penting. Sayang, selama ini kita belum sampai ke sana. kita masih sibuk dengan berbagai urusan lain: reformasi, demokratisasi, partai politik. Jangan pula heran, negara kita menjadi bukan hanya negara mega-biodiversity, tetapi juga negara mega-partai politik dan mega-pemilu dan pemilukada. Sementara itu, keanekaragaman hayati kita diam-diam dicuri karena dalam kesibukan mengurusi reformasi politik dan demokratisasi itu, kita terlambat menyadari, atau mungkin lengah karena terperdaya, bahwa ketahanan hayati sebenarnya penting.