Di Amerika Serikat, ketahanan hayati mula-mula didefinisikan sebagai pendekatan untuk mencegah atau mengurangi penyebaran penyakit menular pada pertanian dan peternakan, tetapi kemudian berkembang menjadi upaya untuk mencegah bahaya yang timbul dari introduksi mahluk hidup berbahaya terhadap kesehatan manusia, ternak, tanaman dan lingkungan hidup, baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Chyba, 2001; McNeely, Mooney, Neville, Schei,& Waage, 2001; Meyerson & Reaser, 2002a; Meyerson & Reaser, 2002b). Di Australia, ketahanan hayati didefisikan sebagai perlindungan ekonomi, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia dari dampak negatif yang timbul dari masuk, berkembang, dan menyebarnya hama, penyakit, dan gulma dengan cara mencegah masuknya mahluk hidup berbahaya tersebut dan melakukan pengendalian bila telah terlanjur menyebar (Australian Government Department of Agriculture Fisheries and Forestry, 2011; Beale, Fairbrother, Inglis, & Trebeck, 2008;). Di Selandia Baru, ketahanan hayati didefinisikan sebagai pencegahan, eradikasi, dan pengendalian risiko yang ditimbulkan oleh hama, penyakit, dan gulma terhadap ekonomi, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia (New Zealand Biosecurity Council, 2003.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, bagaimana seharusnya Indonesia mengoperasionalkan konsep ketahanan hayati? Pertama-tama, tentu saja konsep ketahanan hayati perlu dioperasionalkan untuk menunjang kepentingan ketahanan nasional. Kedua, mengingat permasalahan mandasar yang dihadapi Indonesia sebagai negara yang berpenduduk besar adalah ketahanan pangan maka ketahanan hayati di Indonesia perlu terlebih dahulu difokuskan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Indonesia memang telah mengadopsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai sistem ketahanan hayati dalam sektor pertanian, tetapi sampai kini belum mempunyai strategi ketahanan hayati terpadu sebagaimana dengan telah dimiliki oleh negara-negara maju sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.
Untuk merumuskan strategi ketahanan hayati, perlu dipertahankan rumusan operasional ketahanan hayati yang diberikan oleh FAO (2007):
suatu pendekatan strategis dan terpadu yang mencakup kerangka kerja kebijakan dan perundang-undangan untuk menganalisis risiko terhadap kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, serta risiko yang berkaitan terhadap lingkungan hidup.Dalam definisi ini, ketahanan hayati mencakup keamanan pangan, wabah penyakit ternak, introduksi hama, penyakit, dan gulma dalam sektor pertanian dalam arti luas, introduksi dan pelepasan mahluk hidup termodifikasi dan produknya (misalnya mahluk hidup yang termodifikasi secara genetik), serta introduksi spesies asing invasif.
Operasionalisasi konsep ketahanan hayati dalam definisi FAO (2007) diberikan dalam bentuk analisis risiko yang terdiri atas penilaian risiko, pengelolaan risiko, dan sosialisasi risiko. Dalam analisis risiko ini, risiko diartikan sebagai peluang terjadinya dan keparahan ancaman yang ditimbulkan oleh berbagai jenis musuh, sedangkan musuh diartikan sebagai berbagai jenis mahluk hidup yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini, penilaian risiko dilakukan untuk mencirikan ancaman, melalui estimasi peluang dampak negatif, oleh berbagai jenis musuh dalam siatuasi tertentu. Pada pihak lain, pengelolaan risiko dilakukan untuk mempertimbangkan berbagai cara pengelolaan yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan para pemangku kepentingan berdasarkan informasi ilmiah dan pengetahuan lokal yang tersedia serta peraturan perundang-undangan yang ada dengan memperhatikan pertimbangan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lingkungan hidup untuk menetapkan taraf perlindungan wajar tertentu (appropriate level of protection) yang harus dicapai. Sosialisasi risiko dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep analisis risiko, khususnya kriteria pengambilan keputusan, kepada berbagai pihak pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
Lalu bagaimana mengintegrasikan konsep analisis risiko antar berbagai sektor? Untuk maksud ini, FAO (2007) memperkenalkan langkah-langkah generik dalam melakukan penilaian, pengelolaan, dan sosialisasi risiko untuk menjadi panduan bagi berbagai sektor yang berkepentingan. FAO kemudian menyerahkan kepada kelembagaan internasional sektor yang bersangkutan untuk mengaturnya, misalnya keamanan pangan kepada CAC (Codex Alimentarius Commission atau komisi gabungan FAO/WHO mengenai baku mutu, panduan, dan aturan kerja bidang pangan), kesehatan hewan kepada OIE (Office International des Épizooties atau organisasi dunia mengenai kesehatan hewan), perlindungan tanaman kepada IPPC (International Plant Protection Convention atau konvensi internasional perlindungan tanaman), dan lingkungan hidup kepada CBD (Convention on Biological Diversity atau konvensi mengenai keanekaragaman hayati). Lembaga-lembaga internasional ini kemudian menetapkan ketentuan untuk menjadi panduan bagi negara-negara anggotanya, termasuk tentu saja Indonesia. Hanya saja, yang kemudian menjadi tantangan bagi Indonesia adalah, bagaimana kemudian memadukan ketentuan sektoral tersebut dalam penerapannya di Indonesia.